Tiap-tiap negara menggunakan peristilahan yang berbeda antara informasi pribadi dan data
pribadi. Akan tetapi secara substantif kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang hampir sama
sehingga kedua istilah tersebut sering digunakan bergantian. Amerika Serikat, Kanada, dan Australian menggunakan istilah informasi pribadi sedangkan negara-negara Uni Eropa dan Indonesia sendiri dalam UU ITE menggunakan istilah data pribadi.
Pada berbagai negara maju, digunakan juga istilah privacy/privasi sebagai hak yang harus dilindungi, yaitu hak seseorang untuk tidak diganggu kehidupan pribadinya. Dengan adanya perkembangan dan kemajuan teknologi maka timbul suatu kesadaran masyarakat bahwa telah lahir suatu kesadaran bahwa ada hak seseorang untuk menikmati hidup. Hak untuk menikmati hidup tersebut diartikan sebagai hak seseorang untuk tidak diganggu kehidupan pribadinya baik oleh orang lain, atau oleh negera. Oleh karena itu hukum harus mengakui dan melindungi hak privasi tersebut.
Privasi merupakan suatu konsep yang sangat sulit untuk didefinisikan karena setiap orang akan memberi batasan yang berbeda tergantung dari sisi mana orang akan menilainya.
Pelanggaran privasi sendiri dapat diartikan sebagai pembeberan informasi tanpa memperhatikan kode etik yang semestinya, yakni mempublikasikan dokumen elektronik seperti gambar, video, tulisan, dll tanpa menggunakan aturan dan sopan santun yang layak.
Faktor-faktor penyebab pelanggaran privasi
1. Kesadaran Hukum
Kurangnya pemahaman dan pengetahuan (lack of information) masyarakat terhadap jenis kejahatan cybercrime menyebabkan upaya penanggulangan cybercrime mengalami kendala yaitu kendala yang berkenaan dengan penataan hukum dan proses pengawasan masyarakat terhadap setiap aktivitas yang diduga berkaitan dengan cybercrime.
2. Penegakan Hukum
Masih sedikitnya aparat penegak hukum yang memahami seluk beluk teknologi informasi (internet) sehingga pada saat pelaku tindak pidana ditangkap aparat penegak hukum mengalami kesulitan untuk menemukan alat bukti yang dapat dipakai menjerat pelaku terlebih apabila kejahatan yang dilakukan memiliki sistem pengoperasian yang sangat rumit.
3. Ketiadaan Undang-Undang
Perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum tidak selalu
berlangsung bersama-sama, artinya pada keadaan-keadaan tertentu
perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur
lainnya dari masyarakat.Sampai saat ini pemerintah Indonesia belum memiliki
perangkat perundang-undangan yang mengatur tentang cyber crime belum juga
terwujud. Cyber crime memang sulit untuk dinyatakan atau dikategorikan sebagai
tindak pidana karena terbentur oleh asas legalitas. Untuk melakukan upaya
penegakan hukum terhadap pelaku cyber crime, asas ini cenderung membatasi penegak
hukum di Indonesia untuk melakukan penyelidikan ataupun penyidikan guna
mengungkap perbuatan tersebut karena suatu aturan undang-undang yang mengatur
cyber crime belum tersedia. Asas legalitas ini tidak memperbolehkan adanya
suatu analogi untuk menentukan perbuatan pidana. Meskipun penerapan asas
legalitas ini tidak boleh disimpangi, tetapi pada prakteknya asas ini tidak
diterapkan secara tegas atau diperkenankan untuk terdapat pengecualian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar